Page 42 - media_jaya_02_2013
P. 42
Pembangunan Rusun di Jakarta
Dian Tri Irawaty: “Rusun Bukan Cuma Perkara Infrastruktur”
Pintu lift terbuka. Pada salah satu Ada dua prasyarat yang hendaknya digarisbawahi
pintu yang terletak di sudut ruangan, dalam merancang pembangunan rumah susun
terpampang sebuah banner bertuliskan
“Rujak Center for Urban Studies” (rusun) di Jakarta: (1) transfer dinamika sosial;
(RCUS). Senyum seorang perempuan (2) tidak bersifat saling meniadakan dengan hak
yang membukakan pintu menyambut
lainnya, misalnya akses pendidikan dan memeroleh
ramah kedatangan Media Jaya ke kantor
yang terletak di Jalan Timor, Menteng, pekerjaan.
Jakarta Pusat tersebut.
Ruang kantor RCUS didominasi
warna putih. Bagian depannya disekat
Merasa tak punya pilihan, kenyataannya permukiman kumuh
oleh deretan beberapa rak buku, mereka mencoba bertahan hidup
masih menjadi ‘peer’ tersendiri dalam
lengkap dengan berbagai judul koleksi dan bermukim “seadanya” di pusat/ upaya pemerataan yang dilakukan
yang tertata apik dalam konsep mini- tengah kota. Caranya? Tak lain dengan Pemprov DKI Jakarta.
perpustakaan. Selain buku seputar menempati celah-celah pembangunan Di bawah kepemimpinan
urban studies, ada pula buku dari kota sebagai permukiman, seperti Gubernur Joko Widodo, Pemprov
berbagai genre lainnya yang tak kalah kolong tol, pinggir kali/sungai, DKI Jakarta berkomitmen melakukan
menggiurkan untuk dibaca.
bantaran rel kereta api, dan sejenisnya.
penataan permukiman kumuh secara
Tak berapa lama, seorang
bertahap. Sedikitnya, setiap tahun 100
perempuan berjilbab menghampiri
Penataan Permukiman
kampung akan ditata dengan anggaran
dan memperkenalkan diri sebagai Persoalan penataan permukiman sebesar Rp 30 miliar-Rp 50 miliar per
‘Dian Tri Irawaty’. Ia adalah salah satu
kerap dikaitkan dengan banyaknya kampung.
peneliti sekaligus program manajer di lokasi permukiman tak layak yang Menanggapi hal tersebut, Dian
RCUS, narasumber yang ingin ditemui kemudian disebut sebagai permukiman tak langsung berbicara banyak. Ia lebih
Media Jaya siang itu. Kami sepakat
kumuh. Masrun (2009) memaparkan memilih untuk terlebih dulu mengajak
meluangkan waktu bersama untuk pengertian permukiman kumuh Media Jaya kembali menilik sejarah
ngobrol perihal permukiman warga di mengacu pada aspek lingkungan penataan permukiman di Jakarta dari
tengah kota Jakarta. “Pada dasarnya hunian atau komunitas. Permukiman masa ke masa. Salah satunya yang
setiap warga berhak untuk bermukim kumuh dapat diartikan sebagai suatu pernah dilakukan Ali Sadikin semasa
di tengah/pusat kota. Permukiman
lingkungan permukiman yang telah menjabat sebagai gubernur di era 60-
seharusnya terjangkau oleh semua mengalami penurunan kualitas atau an. Bertepatan dengan pembangunan
warga, tanpa terkecuali,” papar Dian, memburuk (deteriorated) baik secara awal kota Jakarta, Bang Ali (sapaan
membuka obrolan dengan antusias.
isik, sosial ekonomi maupun sosial akrab Ali Sadikin, red) menggagas
Sayangnya, lanjut dia, adanya budaya, yang tidak memungkinkan sebuah program bernama “Kampung
keterbatasan (terutama dari sisi dicapainya kehidupan yang layak bagi Improvement Program” Mohammad
ekonomi, red) membuat sebagian
penghuninya.
Husni hamrin (KIP-MHT) dalam
warga terpaksa tak dapat memiliki Berdasarkan data Badan Pusat melakukan penataan kampung di
rumah di pusat/tengah kota. Harga Statistik (BPS) DKI Jakarta, sekitar Jakarta.
tanah yang melangit menjadi salah satu 309 rukun warga (RW) masuk kategori Saat itu, lanjut Dian, selain warga
faktor penyebab kepemilikan rumah
permukiman kumuh. Meski jumlah
yang belum terbiasa dengan kultur dan
di Jakarta tak terjangkau bagi sebagian
ini secara statistik tercatat mengalami pola hidup vertikal, ketersediaan lahan
masyarakatnya.
penurunan hingga 25 persen,
juga masih memadai, sehingga sangat
42
Media Jaya l Nomor 02 Tahun 2013